"Apapun yang dilakukan dengan kegembiraan akan terasa mudah dan
indah."
Nias berbaju garis vertikal hitam putih dan saudara-saudaranya di Sokola Sakonapu Makekal Hulu |
Indahnya di Sokola Rimba Anak
murid disini tak ada yang memanggilku Pak Guru atau bahkan sekedar Pak.
Mereka
cuma memanggil namaku saja "Kernet" atau gelar/julukan Rimba untukku "Bepalang".
Nias (baca : Niai) seorang anak
lelaki mungil berumur tak lebih dari 6 tahun inilah yang sering kali menyapaku
sambil tersenyum dengan gigi susunya yang kecil-kecil tersusun indah.
Ketika masuk Rimba untuk mengajar
perjalanan mau tidak mau terasa melelahkan. Dari Bangko menuju Makekal Hulu
yang menghabiskan waktu hampir 3 jam,2 jam melewati jalan aspal dan selanjutnya adalah medan offroad yang membuatku lebih senang jalan
kaki dari pada membawa motor melewati jalan lumpur yang tak bersahabat dan Jehat (bahasa Orang Rimba (OR) yang artinya Buruk),becek,pekat
dan dalam. Sambil mengangkat kaki yang berat karena sepatu yang di penuhi lumpur
di tambah jalanan menanjak dan beban di punggung yang jelas lebih berat dari
perjalanan expedisi manapun yang pernah aku lakukan. Berat karena membawa
perbekalan untuk lebih dari 10 hari belum lagi alat tulis dan buku-buku karena
ini tahun ajaran baru..." Tahun ajaran baru" hehehe istilah aneh kayak sekolahan aneh dikota-kota.
Beratnya tas ransel overload muatan ini segera terasa lebih ringan setelah melihat atap seng Ruma Sokola dari kejauhan. tak beberapa lamaseorang lelaki cilik dari kejauhan memanggilku berulang-ulang
"Bepalang..bepalang..bepalang." Maka sirnalah otomatis lelahku. Aku taruh
beban di jalan dan berlari menghampiri Nias dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ia
berteriak sambil tertawa-tawa "guding..guding turun..turun" rupanya
ekpresiku terlalu tak biasa untuk di rimba tapi ia tahu kalau aku sangat senang
sekali bertemu dengannya.
Anak Bungsu dari 5 bersaudara ini
entah mengapa selalu membuatku tak betah di Bangko ingin selalu menyapanya. Aku datang pertama
Padahal baru setahun tapi seingatku Nias pertama kali aku kenal masih sangatlah
kecil.berambut godrong tipis memakai celana pendek kedodoran.
Seperti anak Rimba yang lain lelaki cilik ini suka
sekali belajar dan mencari tahu apapun yang belum diketahuinya. Nias anak yang
aktif ia sering kali tergopoh gopoh menyeret batang kayu kering ketika kami hendak
memasak. Ia memperhatikan betul ketika kakak-kakaknya memasak sambil
kadang-kadang ikut menata kayu yang di lalap api bara sambil meniup-niup dengan
nafasnya yang pendek.
Semua Orang Rimba adalah pemanjat
ulung begitu juga lelaki kecil ini kadang tiba-tiba Nias sudah di atas pohon
sambil tersenyum-senyum sendiri berimajinasi.
Pernah suatu ketika tiba-tiba Nias memanjat
pohon pisang ..ya..benar pohon pisang. Tubuhnya yang ringan membuatknya bisa
naik ke atas pohon pisang dan bermain main di atas pohon pisang. Ia melipat dahan daun pisang agar membuanya
bisa duduk nyaman kemudian ia menekuk dahan lagi hingga membuatnya dapat duduk
dan berpegangan pada dahan yang seolah pelana atau kemudi pesawat satu awak entahlah, Ia bermain sendiri di atas
pohon pisang itu entah apa yang di imajinasikannya. Anak-anak lain yang lebih tua biasanya
menggoda Nias yang lagi tertawa-tawa lepas diatas pohon pisang. Bedundang kakaknya mengambil parang pura-pura akan
menebas pohon pisang itu,Nias kontan berteriak sambil berteriak memanggil
ibunya "induk..induk."
Nias kini sudah hafal huruf dan
dapat mengeja dua suku kata sederhana,bisa
penambahan dengan menghitung jari-jari mungilnya. Seperti anak-anak lainnya Nias anak yang
ceria bahagia dan penuh imajinasi.
Ada malam dimana kita tiba-tiba minim
penerangan,ini karena tiba-tiba hujan dan tak lama ada bunyi-bunyi aneh
"mbreet tung tung,,mbreet tung tung".
Anak-anak berhamburan membawa
senter menuju sungai Sakonapu berburu Mberetung salah satu jenis katak "enak sekali rasanya" kata Bedundang kakak Niai. Karena gelap penerangan di bawa ke perburuan mberetung saat itu,maka pelajaran di teruskan dengan sokola mulut (belajar secara lisan) dengan
Nias. Aku bertanya padanya" dimana rumahmu Nias" ia menjawab cepat
" kiyun " ( bahasa OR :disana) sambil
telunjuk mungilnya menunjuk rumahnya. Aku
tertawa "benar juga",padahal aku berharap Nias mengatakan alamat
rumahnya. . Ia belum tahu termasuk wilayah
desa apa rumahnya ,kecamtan,kabupaten,profinsi apa?,bahkan ia tidak tahu bahwa kampung
halaman dan tanah kelahirannya ini berada di sebuah Taman Nasional.
Anak lucu itu belum bisa paham
kerumitan berbagai macam hal yang datang
menyapa komunitas adatnya. Dimana tanpa disadari Nias aturan adatnya telah di
kangkangi oleh aturan pengelolaan Taman
Nasional yang bergesekan dengan adat . Yang juga karena tak menyertakan Orang-orang Rimba dan aturan adatnya dalam perumusan pengelolaan kawasan hidup Orang Rimba ini. Ia juga belum tahu bahwa banyak pengusaha yang menetes liurnya
ketika melihat kekayaan sumber daya alam di rimba kampung halamannya.
Tapi Nias masih terus belajar
dengan giat. Belajar adat,belajar membaca,menulis, berhitung hingga suatu waktu ia dapat berjuang bersama
komunitas adatnya membentengi diri secara mandiri dan berdaulat
untuk menjawab segala ancaman-ancaman yang datang.
Aku banyak belajar dari cara Nias menikmati hidup. Ketika belajar jelas tampak kegembiraan di air mukanya itulah
yang menjadikannya lekas memahami
sesuatu rupanya. Dan semua yang dilakukannya tampak terlihat mudah dan indah.
Mensyukuri segala hal kecil dan
menikmatinya dengan gembira. Kegembiraan dan kecintaan terhadap proses itulah pelajaran yang di berikan Nias padaku.