Senin, 11 November 2013

Mempelajari Kegembiraan Nias



"Apapun yang dilakukan dengan kegembiraan akan terasa mudah dan indah."


Nias berbaju garis vertikal hitam putih dan
saudara-saudaranya di Sokola Sakonapu Makekal Hulu
Indahnya di Sokola Rimba Anak murid disini tak ada yang memanggilku Pak Guru atau bahkan sekedar Pak

Mereka cuma memanggil namaku saja "Kernet" atau gelar/julukan  Rimba untukku "Bepalang". 

Nias (baca : Niai) seorang anak lelaki mungil berumur tak lebih dari 6 tahun inilah yang sering kali menyapaku sambil tersenyum dengan gigi susunya yang kecil-kecil tersusun  indah.



Ketika masuk Rimba untuk mengajar perjalanan mau tidak mau terasa melelahkan. Dari Bangko menuju Makekal Hulu yang menghabiskan waktu hampir 3 jam,2 jam melewati  jalan aspal  dan selanjutnya adalah medan offroad yang membuatku lebih senang jalan kaki dari pada membawa motor melewati jalan lumpur yang tak bersahabat dan Jehat (bahasa Orang Rimba (OR) yang artinya Buruk),becek,pekat dan dalam. Sambil mengangkat kaki yang berat karena sepatu yang di penuhi lumpur di tambah jalanan menanjak dan beban di punggung yang jelas lebih berat dari perjalanan expedisi manapun yang pernah aku lakukan. Berat karena membawa perbekalan untuk lebih dari 10 hari belum lagi alat tulis dan buku-buku karena ini tahun ajaran baru..." Tahun ajaran baru" hehehe istilah aneh kayak sekolahan aneh dikota-kota.

Beratnya tas ransel overload muatan  ini  segera  terasa lebih ringan setelah melihat atap seng Ruma Sokola dari kejauhan. tak beberapa lamaseorang lelaki cilik dari kejauhan memanggilku berulang-ulang "Bepalang..bepalang..bepalang." Maka sirnalah otomatis lelahku. Aku taruh beban di jalan dan berlari menghampiri Nias dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ia berteriak sambil tertawa-tawa "guding..guding turun..turun" rupanya ekpresiku terlalu tak biasa untuk di rimba tapi ia tahu kalau aku sangat senang sekali bertemu dengannya.

Anak Bungsu dari 5 bersaudara ini entah mengapa selalu membuatku tak betah di Bangko  ingin selalu menyapanya. Aku datang pertama Padahal baru setahun tapi seingatku Nias pertama kali aku kenal masih sangatlah kecil.berambut godrong tipis memakai celana pendek kedodoran.

Seperti anak Rimba yang lain lelaki cilik ini suka sekali belajar dan mencari tahu apapun yang belum diketahuinya. Nias anak yang aktif ia sering kali tergopoh gopoh menyeret batang kayu kering ketika kami hendak memasak. Ia memperhatikan betul ketika kakak-kakaknya memasak sambil kadang-kadang ikut menata kayu yang di lalap api bara sambil meniup-niup dengan nafasnya yang pendek.

Semua Orang Rimba adalah pemanjat ulung begitu juga lelaki kecil ini kadang tiba-tiba Nias sudah di atas pohon sambil tersenyum-senyum sendiri berimajinasi.

Pernah suatu ketika tiba-tiba Nias memanjat pohon pisang ..ya..benar pohon pisang. Tubuhnya yang ringan membuatknya bisa naik ke atas pohon pisang dan bermain main di atas pohon pisang.  Ia melipat dahan daun pisang agar membuanya bisa duduk nyaman kemudian ia menekuk dahan lagi hingga membuatnya dapat duduk dan berpegangan pada dahan yang seolah pelana atau kemudi pesawat  satu awak entahlah, Ia bermain sendiri di atas pohon pisang itu entah apa yang di imajinasikannya.  Anak-anak lain yang lebih tua biasanya menggoda Nias yang lagi tertawa-tawa lepas diatas pohon pisang. Bedundang  kakaknya mengambil parang pura-pura akan menebas pohon pisang itu,Nias kontan berteriak sambil berteriak memanggil ibunya "induk..induk."

Nias kini sudah hafal huruf dan dapat mengeja  dua suku kata sederhana,bisa penambahan dengan menghitung jari-jari mungilnya.  Seperti anak-anak lainnya Nias anak yang ceria bahagia dan penuh imajinasi.
Ada malam dimana kita tiba-tiba minim penerangan,ini karena tiba-tiba hujan dan tak lama ada bunyi-bunyi aneh "mbreet tung tung,,mbreet tung tung"

Anak-anak berhamburan membawa senter  menuju sungai Sakonapu berburu Mberetung salah satu jenis katak  "enak sekali rasanya" kata Bedundang kakak Niai. Karena gelap penerangan di bawa ke perburuan mberetung saat itu,maka pelajaran di teruskan dengan sokola mulut  (belajar secara lisan) dengan Nias. Aku bertanya padanya" dimana  rumahmu Nias" ia menjawab cepat " kiyun " ( bahasa OR :disana) sambil telunjuk mungilnya  menunjuk rumahnya. Aku tertawa "benar juga",padahal aku berharap Nias mengatakan alamat rumahnya. . Ia belum tahu termasuk wilayah desa apa rumahnya ,kecamtan,kabupaten,profinsi apa?,bahkan ia tidak tahu bahwa kampung halaman dan tanah kelahirannya ini berada di sebuah Taman Nasional.

Anak lucu itu belum bisa paham kerumitan berbagai macam hal  yang datang menyapa komunitas adatnya. Dimana tanpa disadari Nias aturan adatnya telah di kangkangi oleh  aturan pengelolaan Taman Nasional yang bergesekan dengan adat . Yang juga karena tak menyertakan  Orang-orang  Rimba dan aturan adatnya dalam perumusan pengelolaan kawasan hidup Orang Rimba ini. Ia juga belum tahu bahwa banyak pengusaha yang menetes liurnya ketika melihat kekayaan sumber daya alam di rimba kampung halamannya.

Tapi Nias masih terus belajar dengan giat. Belajar adat,belajar membaca,menulis, berhitung  hingga suatu waktu ia dapat berjuang bersama komunitas adatnya membentengi diri secara mandiri  dan berdaulat  untuk menjawab  segala  ancaman-ancaman yang datang.

Aku banyak belajar dari cara Nias menikmati hidup.  Ketika belajar  jelas tampak kegembiraan di air mukanya itulah yang menjadikannya  lekas memahami sesuatu rupanya. Dan semua yang dilakukannya tampak terlihat mudah dan indah.

Mensyukuri segala hal kecil dan menikmatinya dengan gembira. Kegembiraan dan kecintaan terhadap proses itulah pelajaran yang di berikan Nias padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar