Jumat, 15 Oktober 2010

Tak Ada Puncak Penyesalan Di Gunung Rinjani


( sebuah catatan perjalanan )

“ Disinilah kami dengan mencoba melawan diri sendiri akan menapakkan hati ”


          Taman Nasional Gunung Rinjani merupakan kawasan dengan daya tarik keindahan alam yang luar biasa. Keindahan flora dan fauna serta lingkungan, di salah satu kawasan Taman Nasional di Indonesia ini, tidak kalah dengan Taman Nasional di seluruh dunia lainnya. Gunung Rinjani adalah gunung tertinggi di Nusa Tenggara Barat, tertinggi ketiga setelah puncak Cartenz Pyramid Irian jaya dan Gunung Kerinci di Jambi, dan di sinilah disinilah kami yang dengan mencoba melawan diri sendiri akan menapakkan hati ,tim kami terdiri dari sembilan orang, terdiri dari kawan – kawan dari lokal Lombok tepatnya dari desa Paokmotong-Mas Bagek Lombok Timur yang berjumlah 4 orang, dari MAPALA FKIP Universitas Mataram 1 Orang, dari MAPALA Politeknik Banyuwangi 1 Orang, dan dari SWAPENKA Fakultas Sastra Universitas Jember 3 orang.

           16/09/2010, Hari ini bukanlah awal perjalanan tapi disinilah awal petualangan, Desa Sembalun Lawang Kecamatan Sembalun Lombok Timur adalah start awal kami memasuki trek jalur Sembalun dari ketinggian 1200 mdpl ini menuju 3726 mdpl puncak Rinjani. Kecamatan Sembalun yang merupakan penghasil bawang putih di era tahun 80 an dan merupakan kecamatan yang berada di kaki gunung Rinjani, dan disinilah awal perjalanan menantang menuju puncak tertinggi ke 3 se nusantara.

Setelah berdoa bersama kami mulai memasuki trek awal yang merupakan sebuah gang kecil di perkampungan menuju persawahan dan berlanjut menuju sabana. Panas matahari saat tengah hari cukup membuat perjalanan ini semakin menarik, rute jalur yang menanjak tapi masih tergolong landai ini di lalui dengan ber mandi peluh, sapi sapi milik warga desa di lepas liar di sabana ini dengan bebas, panas terik cukup membuat kami kehilangan banyak cairan tubuh, namun tak lama berselang awan mendung di susul rintik air hujan menyiram lembut tubuh kami, sejuk yang tak terelakkan,gerimis yang terus ini mengantar kami sampai pos 1 jalur pendakian, sembari berteduh dari gerimis ternyata hujan deras mengambil alih, di tempat yang di namakan Pos 1 ini kami cukup terlindungi dari gerimis, namun bangunan yang tak begitu terawat ini tetap belum bisa melindungi kami dari derasnya hujan, alhasil kami sedikit kebasahan. Setelah berleha-laha, kabut mulai muncul hujan rintik masih sedikit terasa, perjalanan kami mulai lagi menuju target camp pertama kami di Pos 2 Tangengean,jalur menuju pos 2 masih sama sabana, kadang di selingi menyeberang kali mati bekas jalan lava gunung rinjani.
            Akhirnya dengan bersusah payah pos 2 dapat terjamah. Pos 2 yang memiliki ketinggian 1514 mdpl ini adalah tempat persinggahan untuk para pendaki yang di gunakan untuk istirahat dan bermalam, pos ini berada di bantaran sebuah sungai mati, disepanjang jalur menuju pos 2 memang terdapat beberapa kali mati yang kami lalui dan sebagian terdapat jembatan yang menghubungkan jalur, dan di pos 2 kami mulai memutuskan untuk membuat camp pertama kami, tepat diatas jembatan.

             Hari kedua (17/09/2010) perjalanan target kali ini adalah Pelawangan Sembalun, camp kedua kami sebelum menuju puncak sejati Gunung Rinjani. Jalur mulai tidak monotone lagi, variasi tanjakan dan indahnya pemandangan mulai terasa dan terlihat jelas, maklum pagi cukup cerah, perjalanan mulai menguras tenaga melintas sabana demi sabana dan akhirnya pos 3 tampak dan menjadi tempat yang cukup nyaman untuk sekedar melepas lelah, jalur sembalun memang terkenal jalur yang ramai di lalui para pendaki, sejak kemarin di awal perjalanan kami menjumpai banyak pendaki yang turun melalui jalur ini baik pendaki lokal maupun manca, dan di pos 3 dengan ketinggian 1819 mdpl ini kami berkesempatan untuk istirahat dan sekedar berbasa basi dengan pendaki asal Perancis. Tapi basa basi harus terhenti karena kami harus mulai lagi untuk meneruskan perjalanan, peluh telah mengering saatnya memeras kembali keringat di tubuh ini. 


            Tujuh Puncak Penyesalan di depan mata, dinamakan tujuh Puncak Penyesalan karena untuk menuju Plawangan Sembalun sebagai Pos terakhir pendakian sebelum puncak, pendaki akan dihadang oleh tujuh buah puncak. Ketika pendakian sampai pada ujung tertinggi dari jalur naik, pendaki akan menyesal karena ujung tertinggi itu hanyalah puncak sebuah punggungan . Di depannya masih ada puncak lagi dan lagi sampai tujuh buah puncak punggungan, sungguh jalur trek yang terjal menanjak yang memaksa tubuh untuk terus berjalan terus menapaki jalan terjal mendaki di kemiringan yang variatif antara 35-80 derajat, cemara gunung (casuarina junghuniana) sesekali kami lewati di jalur menuju pelawangan sembalun yang memang berat ini, dan memaksa diri kejam terhadap tubuh, bahkan lelahnya tubuh jarang kami jawab dengan istirahat karena melihat jauh dan beratnya jalur, akan tetapi mata ini tak jua berhenti di manjakan oleh pemandangan deretan tebing nan curam dan indah di kiri kanan, luasnya sabana sembalun yang memesona hati dan mata, benar-benar Tuhan Maha Indah ucap syukur dan kagum tak henti berkumandang di sepanjang jalan, lika liku terjal bukit penyesalan yang tak tersesali karena indahnya.


Pelawangan Sembalun
              Pelawangan sembalun (2705 mdpl) adalah punggungan caldera Gunung Rinjani Purba, di punggungan ini adalah tempat camp kami di malam ke 2 sebelum menuju Puncak di dini hari, suasana camp cukup ramai, beberapa tenda sudah berjajar. Ada beberapa kera yang menyambut kedatangan para pendaki,Kami membangun tenda dekat dengan tenda yang lain, seru juga banyak tetangga sesama pendaki. Matahari sudah mulai mengufuk di sebelah barat tak ada kumandang adzan namun senja benar-benar menampakkan wujudnya. Acara makan malam dan istirahat kami lanjutkan maklum pagi dini hari kami harus berangkat menuju puncak rinjani.

              18/09/2010, Mata di buka paksa, dini hari telah menyapa saatnya summit attack menuju puncak, beberapa kawan yang sudah terjaga menyiapkan perbekalan menuju puncak. Dari sembilan anggota Tim kami hanya ber enam yang berangkat menuju puncak, anggota tim yang lain tetap berada di lokasi camp menjaga barang dan tenda. Setalah siap perbekalan, kaki kami mulai menapak lagi, gelapnya langit,kantuk mata yang belum sirna membuat adaptasi gerak kaki terasa berat, jalur awal adalah meneuju gigir caldera yang lebih tinggi, jalur awal sudah cukup sulit, tanjakan terjal , tapi tak beberapa lama otot kelopak mata mulai terasa ringan lagi, maklum focus pada jalur membuat kantuk lenyap dengan sendirinya. 

Pelan tapi pasti akhirnya gigir caldera Rinjani tertapaki jua. Beberapa pendaki sudah jauh meninggalkan kami terlihat dari lampu senter yang berkerlap kerlip di kejauhan, jalur trek kali ini cukup sempit hanya sekitar 1-2.meter lebarnya cukup mengasah nyali juga, walaupun tak seterjal puncak semeru tapi jalur ini cukup melelahkan punuk demi punuk di gligir caldera mulai tertapaki sampai akhirnya kita sampai jalur terberat yaitu 200 meter menuju puncak terjal berpasir dan berkerikil, di diperjalanan ini beberapa kawan sudah menapakkan kakinya di puncak dan sebagian masih ber tarung, dengan jalur trek yang cukup membuat kami berpeluh di suhu cukup dingin ini kami mencoba terus memaksa diri. Fajar di timur, jingga indah benar langit ini, benar-benar luar biasa pemandangan ini. Kaki terus beraksi menapak rapuhnya pasir dan kerikil. 

          Akhirnya benar-benar tak terbantah lagi Tuhan benar-benar “Maha Keren “.Banyangan siluet gunung rinjani telihat segitiga sama kaki menutupi segara anak Di sebelah barat kerucut Rinjani terdapat caldera dengan luas sekitar -/+ 3.500 m × 4.800 m,cukup luas ,pemandangan indah mulai terjamah mata hijau dedaunan, kecoklatan batang-batang pohon, birunya danau segara anak, Gunung Baru Jari di tengah danau yang ter lihat berasap dengan tubuh Gunungnnya yang tampak keperakan, tebing-tebing gligir Rinjani purba yang kuning keemasan di terpa jingganya matahari pagi, Gunung Agung di Bali, Gunung Ijen-Merapi di Banyuwangi dan Gunung Tambora di Sumbawa juga tampak.


          Setelah leluasa memandang pemandangan puncak kami benar-banar sadar tidak bisa serakah untuk terus menikmati indahnya puncak Rinjani. Turun kembali menuju camp pelawangan sembalun adalah tugas berikutnya. 
            Perjalanan turun cukup menyenangkan karena cukup terang, apalagi jalan menurun membuat nafas kami cukup stabil, dan keindahan caldera purba rinjani ini membuat hati berselimut kagum terhadap karya tuhan yang tak pernah tertandingi ini, pelan-pelan kami menapaki dan terasa berat meninggalkan semua yang tertangkap mata. Batang edelweis yang kuning kecoklatan berpadu dengan hijau dan kuning bunganya, cukup sudah tak terlukiskan bagaiman hati ini termanjakan surga keindahan ini. Perjalanan ini sungguh termaknai bahwa untuk menuju surga yang sejati nanti haruslah melewati jalan berat dan mendaki namun keteguhan hatilah yang menjadi kunci.

           Pelawangan sembalun harus kami tinggalkan perjalanan arah menuju danau segara anak di dasar caldera rinjani purba, rintik gerimis awal perjalanan ini cukup seru juga, jalan menurun terjal bebatuan, di selingi kelak kelok jalur menuju segara anak yang bercadas, kaki mulai di coba ketangguhannya. Jalanan berbatu ini cukup merepotkan dan terjal kami juga harus berbagi jalan dengan pendaki yang akan naik dari danau menuju pelawangan sembalun, sapa hangat setiap kali berpapasan dengan pendaki lain adalah hiburan dalm menapaki terjalnya cadas jalur sembalun segara anak. Sore hari sudah terasa mendung dan hujan memang tidak memperlihatkan perubahan dari siang menuju sore tapi menerka langit itulah yang kami bisa.      

             Bibir danau terlihat juga. Jalur ternyata masih jauh tapi sudah tidak terjal lagi, beberapa jembatan kami lewati ini menandai bahwa jalur ini memng sudah lama dan sangat terawat walupun tidak begitu terawat kebersihannya, 
rinjani memang surga tapi bukan surga yang bersih akan sampah,jalanan mulai landai dan sesekali tanjakan. 

             Akhirnya kaki benar-benar menapak bibir danau yang memiliki luas 11.000.000 m persegi dengan kedalaman 230 m ini, selimut kabut yang berangsur pergi seolah membuka tirai keindahan danau segara anak, desiran sepoi angin, kepulan asap putih di gunung baru jari yang memiliki kawah berukuran 170m×200 m dengan ketinggian 2.296 - 2376 m dpl ini sungguh pemandangan luar biasa.
 
          Para pendaki berubah menjadi para nelayan dadakan.dan tampak melempar kail dan dengan sabar menunggu ikan menyambut di sepanjang bibir danau yan bagi suku Sasak. Danau Segara Anak dianggap tempat sakral yang harus dijaga kesuciannya. setiap lima tahun sekali Upacara Mulang Pekelem dan Bumi Sudha yang tergolong upacara besar bagi umat Hindu di Pulau Lombok,dilaksanakann untuk memberikan sebuah pengorbanan suci agar alam dibersihkan dari kekuatan jahat dan manusia bisa hidup dalam harmoni dengan alam di sekitarnya. tiga hari ritual ini dilaksanan dengan mendaki Gunung Rinjani untuk sampai di Danau Segara Anak, yang diyakini sebagai pusat spiritual di Tanah Sasak. Danau berwarna hijau dan biru itu, juga digunakan pula sebagai tempat ziarah Islam Wettu Telu,

Memancing adalah sebuah tawaran menarik bagi kami, ikan-ikan yang menjadi penghuni danau ini adalah ikan mas dan ikan nila, salah satu sumber protein yang kami harapkan. Senja mulai melakukan transisi menuju malam, langit tetap cerah para pendaki sudah berhenti memancing.

           19/10/2010,Aktifitas pagi yang pertama kami lakukan adalah membuka pintu tenda menatap indahnya danau dan menyebut keagungan Tuhan berkali-kali, sungguh tiada hari tanpa sesuatu yang biasa, serba luar biasa. Mandi adalah sesuatu yang kurang wajar di lakukan di ketingggian lebih dari 2000 mdpl, tapi tidak disini, ini adalah sesuatu yang biasa di komplek danau, bukan mandi dengan dinginnya air danau tapi kami akan mandi di sumber air panas.

          Kokoq Putih adalah nama sungai dengan kadar belarang yang berasal dari mata air panas sebelah utara danau, kami memilih untuk tidak berada di tempat pemandian yang biasanya digunakan oleh pendaki, kami memutuskan untuk agak turun mengikuti aliran sungai kokoq putih sambil mencari tempat nyaman luas dan sepi. kepulan asap belerang dengan kuning kecoklatan air yang mengalir membuat kami tidak sabar menghangatkan diri di dalamnya. Awalnya air terasa panas ketika petama kali menceburkan diri, tapi dengan perlahan memasukan telapak kaki,kemudian lutut,paha dan perlahan lahan akhirnya kami mulai berenang-renang kegirangan di hangatnya air sungai kokok putih. Tubuh yang kuyup air hangat ini membuat kami berfikir suatu saat kami akan kembali untuk berbagi keindahan dan kenikmatan ini dengan kawan-kawan atau mungkin sanak saudara suatu saat nanti.



                  Pemandangan danau mulai menempati ruang pandang kami lagi, memancing itulah yang akan kami lakukan. Udara yang tidak dingin tapi sejuk ini adalah sebuah anugrah untuk terus memanjakan diri di danau ini. Senar, kail, dan joran pancing kami bawa menuju pesisir danau, lemparan kail dengan umpan cacing sudah terendam dalam danau, ikan kecil-kecil rakus menyambar sesekali terangkat tubuh ikan kecil, kerena ikan di pinggir danau kecil-kecil kami memutuskan pindah tempat dan sedikit menceburkan diri di dangkalnya pinggiran danau, alhasil ikan sebesar telapak tangan tertangkap,ternyata cukup mudah memancing,setelah beberapa ekor ikan telah tertangkap saatnya memasak dan beranjak pulang. Dari semua aktifitas pendakian ini aktifitas paling menyebalkan adalah packing karena ini adalah tanda kami harus beranjak pergi.

         Jalur pulang kami adalah Jalur Torean menuju desa Sambik eEen Kecamatan Bayan Lombok Utara, perjalanan kami di mulai tengah hari, namun terik panas matahari tidak menyiksa , melihat perjalanan naik di awal perjalanan, yang kami bayangkan adalah jalur turun yang panjang dan curam. 


         Perjalanan di mulai dengan mengankat ransel di punggung dan berdoa yang disertai puji syukur atas indah yang kami rasakan. Jalur torehan adalah jalur dengan jarak 10,5 km menurut seperti keterangan yang tertulis di papan penunjuk arah, jalur ternyata tidak securam jalur turun dari pelawangan sembalun menuju danau, trekking pulang kami lakukan ternyata kami menyusuri aliran sungai kokoq putih, gemericik air sungai berbelerang ini menemani kami, cemara dan tumbuhan khas dataran tinggi mengantarkan kami pada sebuah daerah landai menyeberang sungai kokog putih yang tidak lebar, dijalur ini kami harus sedikit menyesali karena goa susu melewati jalur ini, namun karena perjalanan pulang harus terjadi, kami tidak sempat mampir ke goa yang konon memiliki keunikan tersendiri. 

           Bentuk goa ini menyerupai wajah manusia. Goa ini memiliki 2 lubang seperti lubang mata pada wajah manusia dan kita dapat memasuki salah satu lubang tersebut untuk menikmati spa alami. di dalam goa ini tersembur hawa panas yang merupakan hasil uap dari air belerang., harus ikhlas itu yang terlintas dalam benak, Kami mulai tidak salah terka jalur torehan ternyata tidak hanya curam tapi terjal menanjak, jalan yang kecil dan berbatu menyusuri puncak punggungan, di kiri jalur pemandangan yang tampak adalah sungai yang berbelerang yang mengalir berkelok dan lembut namun kadang terjun dari tebing vertikal berpuluh-puluh meter, dan menjadi air terjun yang unik,. 

          Di perjalanan pulang ini kami bertemu pendaki lokal naik menuju arah danau, jabat tangan, ucapan salam,senyum simpul dan pertanyaan asal adalah ritual yang biasa kami lakukan ketika bertemu pendaki lain, penduduk ini adalah warga lokal Lombok yang biasanya naik ke danau untuk memancing, rombongan mereka terdiri dari anak-anak,orang,tua, dan remaja, penduduk lokal memang sering menggunakan jalur ini, karena dinilai lebih cepat, walaupun bagi pendaki lain cukup berbahaya dan banyak cerita mistis yang berkembang, tapi kami tidak mau tahu cerita mistis tersebut karena dapat menggangu psikologis kami.

         Tebing-tebing tinggi adalah pemandangan menakjubkan yang berada di sisi kanan kami, namun gelap mulai hadir, matahari berlalu tanpa kami sadari. Terpaksa kami memutuskan untuk istirahat di tengah jalan dan membuka camp darurat, lumayan ada tempat landai yang bisa kami gunakan mendirikan tenda, aktifitas memasak camp darurat tetap sama yaitu memasak sisa hasil tangkapan ikan yang sengaja kami bawa. Anyir ikan, berpadu dengan olahan ragi beliq sambal khas Lombok yang sengaja di bawa dari rumah membuat tempat gelap tak terasa sepi karena ramainya rasa yang ada di lidah kami.

          20/09/2010, Kicau burung membuat kami memutuskan untuk bangun di pagi ini, seteguk air putih dan sebatang rokok lintingan menemani menikmati hijaunya daun dan birunya langit.

          Perjalanan harus kami lakukan, tanpa sarapan pagi terlebih dahulu, kami berangkat menuju sasaran berikutnya, target ini adalah adalah pos 1 Jalur torehan, disanalah kami akan masak dan makan siang karena dekat dengan aliran air,agar kami leluasa memasak.

          Jalur masih sama sempit namun variasi vegetasi sudah menunjukkan menuju hutan hujan tropis. Air terjun kembali kami saksikan dengan takjub, aliran sang kokoq putih tak henti-hennya membuat sesuatu yang spektakuler puluhan meter air bebas meluncur jatuh. Kami masih berada diatas air terjun namun di punggungan yang berbeda tapi tidak jauh jadi kami leluasa menyaksikan aksi air terjun, jalan masih menurun dan menanjak, sesekali kami naik menuju puncak punggungan kadang kami melalui tangga kayu yang dibuat penduduk lokal untuk memudahkan mendaki curamnya dan terjal jalur di kemiringan hampir 90 derajat ini.

           Pos I Torehan adalah satu-satunya pos yang ada di jalur ini, kami berhenti melapas lelah dan seperti rencana memasak untuk sarapan dan makan siang. Ikan hasil memancing dan semua perbekalan makanan yang kami punya keluar dari ransel untuk di olah, pos 1, kawasan tropical rain forest (hutan hujan tropis) dataran tinggi yang cukup sejuk walaupun di siang hari, ikan nila goreng, bumbu andalan ragi begiq, nasi putih,telor dadar special,segelas besar kopi,dan mie instant serta sambal kecap siap di nikmati. Ini adalah santapan terakhir di perjalanan , karena target kami berikut adalah desa sambik elen selanjutmya mencari angkutan untuk melanjutkan pulang tidak berjalan kaki lagi.


           Perjalanan menyusuri setapak hutan hujan ini cukup menarik juga, karena treknya mengingatkan akan gunung argopuro dan raung di jawa timur, sepanjang jalan sudah tak terlihat sungai kokoq putih namun ber ganti dengan sungai-sungai kecil dengan airnya yang jernih dan sesekali terlihat pipa-pipa yang digunkan menyalurkan air bersih dari mata air di ketinggian menuju desa sambik elen..

             Sabana ilalng mulai terlihat, tak jauh dari sabana nampak rumah-rumah penduduk, namun jarak masih 3-4 kilo dari jalan raya, Nampak rumah yang sangat tradisional beratap jami (bahasa sasak yang artinya Ilalang) dan terbuat dari kayu dan bambu. Khas dengan gazebo persegi atau bahasa lokalnya adalah berugak. Di kampung yang masih jauh dari pusat desa sambi elen ini kami menyaksikan ada sebuah pura yang dalam proses pembangunan, menurut penduduk yang sempat kami singgahi, mereka mengaku sebagai masyarakt perantauan dari karang asem bali dan beragama hindu, cukup. jelas kebudayaan hindu yang tampak,

           Jauh juga menyusuri jalan lebar perkampungan menuju perempatan desa sambik elen yang merupakan jalan utama yang akan kami lalui untuk mencari kendaraan untuk pulang.

           Di desa yang merupakan pengahsil Jambu Mente ini kami menunggu angkutan tepat di depan sebuah sekolah dasar di pinggir jalan raya, di seberang jalan ada komplek rumah tradisional suku sasak. Bangunan persegi dengan atap limas dari rumbia atau ilalang ini berjajar berhadapan kesan eksotis yang tampak, rasa penasaran menghilangkan pegal-pegal di kaki dan sekujur tubuh. Kami mulai melihat dan mengamati rumah dan masjid tradisional yang ada. Rumah adat Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah (pondasi). Atap dan bubungannya terbuat dari ilalang, dindingnya dari anyaman bambu (gedek), hanya mempunyai satu berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya ruang induk meliputi ruangan luar, ruang tidur dan ruang dalam, ruang dalam dilengkapi tempat tidur atau amben dalam bahasa jawa, dapur, dan tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. ruang tamu dan pintu masuk dengan sistem geser. Di antara ruangan luar dan ruangan dalem ada pintu dan tangga dan lantainya konon berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau/kuda, getah, dan abu jerami.

           Desa Sambik Elen Kecamatan Bayan Lombok Utara ini adalah jalur akhir kami, semua menikmati perjalanan yang penuh tantangan dan keindahan bagaimana tuhan selalu memberikan lebih dari apa yang kami pikirkan, mulai dari bayangan kami tentang keindahan rinjani ternyata Tuhan memperlihatkan keindahan yang lebih dari apa yang kami pikirkan, sedangkan ketika kami berfikir tentang betapa beratnya perjalann yang akan kami tempuh ternyata Tuhan memberikan jalan yang lebih berat dari yang kami bayangkan. Sungguh pelajaran yang indah dan membanggakan untuk di kenang.



          Perjalanan selanjutnya adalah pulang menuju kecamatan Mas Bagek Lombok Timur sebelum kemudian menuju Mataram,dan lanjut pelabuhan lembar,menyebrang pelabuhan Padang Bae Bali, jalan darat menuju pelabuhan Gilimanuk menyeberang sampai di tanah jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar